WANITA DALAM AL-QUR'AN

ita memuji Allah swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk
junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya,
serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
Ikhwan tercinta, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam
penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi: assalamu 'alaikum
wa rahmatullah wa barakatuh.
Ikhwan tercinta, tema kajian kita pada malam ini adalah "Wanita
dalam Al-Qur'anul Karim."
Kita telah memulai serial kajian kita tentang kandungan Al-Qur'anul
Karim. Kajian serial ini telah berlangsung lama. Memang, wajar saja ia
berlangsung lama, karena kandungan kitab Allah ini secara keseluruhan
adalah kebaikan semata. Orang yang membaca kitab Allah swt. pasti
merasa seakan-akan berada dalam kebun-kebun yang penuh dengan
buah-buahan yang dapat dipetiknya. Mengenai hal ini, Ikhwan sekalian,
saya terkesan oleh ucapan Sayidina Abdullah bin Mas'ud, "Jika kamu
membaca Al-Qur'an 'Alif ~Lam, Haa Miim', seakan-akan kamu mampir
di kebun-kebun yang dipenuhi berbagai buah-buahan."
Kitab Allah swt. dengan gayanya yang khas dan indah, memiliki
komposisi unik yang tidak mungkin dapat ditemukan kecuali padanya.
Logika yang cermat dalam bentuk ungkapan yang paling indah digunakan
untuk membahas tema-tema yang paling remeh sekalipun. Seakanakan
seseorang berada di salah satu koleksi logika yang paling kuat.
Ikhwan, sesungguhnya barangsiapa membaca sejarah bangsabangsa,
niscaya menemukan bahwa manusia itu mempunyai pandangan
yang berbeda-beda terhadap wanita. Perbedaan itu sampai pada kategori
mengundang keheranan. Ia akan menemukan bahwa sebagian dari
mereka, misalnya, ada yang menganggap bahwa wanita adalah budak.
Ada yang menganggapnya sebagai sampah, dan ada pula sebagian
kelompok yang tidak memandang wanita selain sebagai hiburan dan
permainan. Hal itu masih berlaku, bahkan dalam pandangan bangsabangsa
modern yang mengklaim bahwa kebanggaan terbesarnya adalah
penghormatan terhadap martabat wanita, kebangkitan kaum wanita,
dan penyempurnaan hak-hak kaum wanita. Di kalangan bangsa-bangsa
ini sendiri, wanita dan kedudukan wanita tidak mencapai tingkat yang
menjadikannya dapat memperoleh hak atau menempati posisinya secara
benar.
Anda mungkin heran, Saudara-saudara, bahwa masyarakat Arab
memiliki pandangan dan penilaian yang campur aduk tentang wanita.
Suatu kali di mana masih terdapat beberapa kabilah Arab, mereka menganggap
wanita sebagai manusia yang mempunyai hak sebagaimana
manusia lain, sehingga mereka kadang-kadang mengambil pendapatnya
dan kadang-kadang memberinya kebebasan memilih.
Ada beberapa contoh mengenai hal itu. Syamas bin La'iy, seorang
pemuka salah satu kabilah Arab, pernah dicela dengan keras oleh
seorang penyair. Ketika penyair tersebut berhasil ditangkapnya, ia ingin
membunuhnya. Ia menemui ibunya dengan muka berseri-seri. Ibunya
berkata, "Aku melihat di wajahmu tergambar tanda-tanda kegembiraan."
Ia menjawab, "Benar Ibu. Saya telah berhasil menangkap penyair
yang telah mencelaku." "Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya. Ia
menjawab, "Tentu saja, saya akan membunuhnya." Ibunya berkata,
"Di manakah kearifan dan kepintaranmu, wahai putra La'iy^? Seorang
penyair berkata tentang dirimu, sedangkan perkataannya tersebar di
tengah-tengah masyarakat, lantas siapakah yang kau anggap dapat
menghapuskan celaannya ini?" "Jika tidak demikian, lalu apa yang harus
saya lakukan?" tanyanya. Ibunya menasihati, "Perlakukan dia dengan
penuh hormat, wahai Syamas. Perlakukanlah dia dengan baik, lantas
biarkanlah dia sendiri yang menghapus celaan yang pernah dilontarkan
kepadamu. Jika tidak demikian, maka tidak akan ada orang yang dapat
menghapuskan celaannya yang telah melekat padamu selama-lamanya."
Syamas bin La'iy benar-benar melaksanakan pesan ibunya dan
mengikuti sarannya. Padahal ia hanyalah seorang wanita.
Ikhwanku, saya katakan, di saat wanita pada sebagian kabilah
diperlakukan demikian, beberapa kabilah yang lain justru mempunyai
kebiasaan mengubur anak perempuan hidup-hidup dan memingit wanita
di rumah dengan peraturan yang ketat dan keras. Tatanan bangsa Arab
dalam memandang wanita dan kedudukannya mempunyai beberapa
keragaman.
Karena itu, sungguh mengagumkan, ternyata Al-Qur'an mendatangkan
pandangan yang merupakan puncak ketinggian dan penghargaan
terhadap status sosial wanita. Pandangan tersebut meletakkan masalah
secara proporsional dan membahasnya dengan berani dan kokoh.
PRINSIP-PRINSIP TEORITIS
Ikhwan sekalian, masalah ini adalah masalah kemanusiaan yang
paling penting, dibahas oleh Al-Qur'anul Karim dengan pembahasan
yang penuh keyakinan, kejelasan, keberanian, dan kebenaran.
Allah swt. berfirman, "Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhan
kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari padanya
Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan wanita yang banyak. Maka bertaqwalah kepada
Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain
dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kalian." (An-Nisa': 1)
Ayat yang mulia ini, Saudara-saudara, mengisahkan kepada kita
dengan jelas sekali bahwa asal-usul seluruh manusia adalah satu.
Seluruh manusia berasal dari satu orang. Kemudian dari satu orang ini,
Allah menciptakan istrinya. Laki-laki dan wanita mempunyai asal-usul
dari satu orang. Dari sini, wahai Akhi, Anda menemukan bahwa Islam
telah meletakkan permasalahan ini di atas satu prinsip. Wanita dan
laki-laki bermula dari asal yang sama dan dari bahan baku yang sama.
"Sebagian dari kalian merupakan bagian dari yang lain." Prinsip dalam
masalah ini adalah persamaan.
Dalam surat Asy-Syura, Allah swt. berfirman, "Dia memberikan
anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan
anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau
Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada
siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang
Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa."
(Asy-Syura: 49-50)
Jadi, wahai Akhi, Anda menemukan bahwa Allah swt. mendahulukan
penyebutan anak-anak perempuan dalam firman-Nya, dan
menyebutnya sebagai anugerah yang diberikan kepada siapa yang Allah
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Allah juga menyebut anakanak
laki-laki sebagai anugerah yang diberikan kepada siapa yang Allah
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Sama saja, apa-kah anak yang
dimiliki seseorang itu perempuan semua atau laki-laki semua, ataukah
perempuan dan laki-laki, maka itu merupakan karunia dan anugerah
Allah. Jika kita memperhatikan urutan penyebutan antara perempuan
dan laki-laki, Anda mendapati bahwa ayat tersebut permulaannya
dengan menyebut perempuan. Hal ini untuk menghilangkan syubhat
yang menganggap kekurangan pada perempuan.
Dalam ayat ketiga, Allah swt. berfirman, "Sebagian dari kamu merupakan
bagian dari yang lain." Persamaan tidak berhenti pada kandungan
secara umum ini, tetapi lebih dari itu juga termasuk dalam persoalan
hukum. Wahai Akhi, Anda menemukan ayat yang mulia mengatakan,
"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong
dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pem-balasan dengan kejahatan
itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya
selain dari Allah. Barangsiapa mengerjakan amal-amal shalih, baik lakilaki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun."
(An-Nisa: 123-124)
Di sini Anda menemukan bahwa Allah Yang Mahabenar swt. telah
menegaskan bahwa asal-usul pria dan wanita adalah satu sumber, dan
nilai umum dalam penghitungan dan pembebanan adalah satu pula. Di
tempat lain, wahai Akhi, Anda mendengar firman Allah swt., "Di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istriistri
dari jenis kalian sendiri, agar kalian cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa cinta dan kasih
sayang." (Ar-Rum: 21)
Jika kita perhatikan ayat ini, wahai Akhi, niscaya kita mendapati
bahwa kecenderungan dan perasaan tenteram antara pria dan wanita
ditegaskan di sana. Di tempat lain Allah swt. berfirman, "Dialah yang
menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari jiwa itu Dia menjadikan
istrinya agar ia merasa tenteram kepadanya." (Al-A'raf: 189)
Ketenteraman, ketenangan, dan perlindungan. Itulah kata-kata yang
paling tepat untuk menggambarkan hubungan antara pria dan wanita.
Seorang wanita, wahai Akhi, berlindung kepada suaminya untuk memperoleh
kekuatan dan kehidupan, sedangkan pria berlindung kepada
istrinya untuk memperoleh kecintaan dan kehidupan. Al-Qur'anul Karim
menegaskan hal ini dengan ungkapan yang paling tinggi nilainya, dan
menegaskan bahwa hal ini adalah salah satu tanda kekuasaan Allah
serta salah satu nikmat dan karunia-Nya. "Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari
jenis kalian sendiri, agar kalian merasa cenderung dan tenteram kepadanya.
Dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa rasa cinta dan kasih
sayang." (Ar-Ruum: 21)
Dengan prinsip-prinsip teoritis ini, kita mendapatkan bahwa Al-
Qur'anul Karim telah menghapus mitos-mitos berbagai bangsa terdahulu
yang menyatakan bahwa bahan baku wanita dari tanah yang
berbeda dari bahan baku pria dan bahwa wanita bukan dari jenis pria.
Islam telah menghapuskan dan menghancurkan mitos-mitos ini dengan
setuntas-tuntasnya.
PRAKTEK NYATA
Adapun dari segi prakteknya secara nyata, wahai Akhi, pria adalah
manusia dan wanita adalah manusia juga. Pria mempunyai tugas dan
wanita juga mempunyai tugas. Kita mendapatkan bahwa Allah swt.
telah menegaskan tentang keadaan struktur keluarga. "Mereka (kaum
wanita) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Tetapi para suami mem-punyai satu derajat kelebihan
daripada mereka." (Al-Baqarah: 228)
Al-Qur'an menegaskan bahwa keluarga adalah urusan mereka
berdua dan terdiri dari keduanya. Hanya saja, kepemimpinan berada
di tangan suami. "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lain
dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
(An-Nisa': 34)
Hal itu, wahai Akhi, lantaran harus ada amanah yang akan dipertanggungjawabkan.
Pertanyaannya di sini, siapakah yang lebih berhak
menjadi pemimpin, laki-laki atau perempuan? Laki-laki yang kuat,
keras, dan hidup dengan akalnya, ataukah wanita yang lembut dan
hidup dengan emosi, hati, dan perasaannya?
Tidak diragukan bahwa tanggung jawab, beban, dan tugas ini
diserahkan kepada laki-laki. Saudara, inilah pembeda antara Islam dan
peradaban Barat. Dalam masalah ini, wahai Akhi, Anda menemukan
bahwa Islam telah mengikuti hukum tabiat dan logika. Kepemimpinan
di dalamnya berada di tangan laki-laki karena ia lebih mampu melaksanakannya.
Namun ini bukan berarti sikap semena-mena atau zhalim. Di
sini saya teringat tentang sebuah kisah unik tentang Sayidina Abdullah
bin Abas ra. Nafi' pernah melihat beliau memangkas jenggotnya yang
panjangnya melebihi satu genggaman. Maka Nafi' menegurnya, "Takutlah
kepada Allah, takutlah kepada Allah, wahai Ibnu Abbas. Sesungguhnya
orang-orang rela mengendarai unta dari berbagai penjuru jazirah,
datang kepadamu dan bertanya tentang agama dan Al-Qur'an, sedangkan
engkau sendiri berbuat seperti itu." Ibnu Abbas menjawab, "Celaka
kamu, wahai Nafi'. Sungguh, saya ini melaksanakan apa yang diperintahkan
oleh Allah, karena itu saya berdandan untuk istriku sebagaimana
dia berdandan untukku." Nafi' berkata, "Kalau begitu, sebutkan kepadaku
alasannya dari Kitabullah." Beliau berkata, "Dan mereka (istri-istri) itu
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya, menurut cara
yang ma'ruf."
Namun demikian kita juga mengetahui bahwa berlebihan dalam
berhias itu juga tercela secara syar'i. Demikianlah, wahai Akhi, ketika
Al-Qur'anul Karim menegaskan hak kepemimpinan laki-laki atas
wanita, hal itu tidak berarti mengurangi hak wanita, atau lebih mengutamakan
laki-laki daripadanya. Hak ini semata-mata untuk meletakkan
perkara sesuai dengan proporsinya.
Al-Qur'anul Karim juga menetapkan bahwa kesaksian seorang
wanita sama dengan separoh kesaksian laki-laki. "Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya." (Al-Baqarah: 282)
Dalam menetapkan hukum ini, wahai Akhi, Al-Qur'anul Karim
telah menetapkan sesuai dengan komposisi dan karakteristik wanita
yang hidup dengan emosi, hati, dan perasaannya yang halus, yang mudah
terpengaruh oleh sikap kasar. Wanita itu lebih mudah tersentuh
perasaannya dibandingkan dengan pria, dan lebih mudah lupa daripada
lab-laki. Dalam pengadilan-pengadilan Barat, mereka mengatakan,
bahwa orang-orang yang bersumpah, jika di antara mereka ada wanita,
sedangkan kasus yang terjadi itu sangat menyentuh perasaan, maka
wanita-wanita yang bersumpah itu harus meninggalkan ruangan. Mereka
kemudian duduk menangis lantaran kondisi di seputar kasus yang
dikemukakan dan dimintakan keputusannya dari mereka. Tangisan ini
berarti bahwa mereka telah mengeluarkan penilaian dengan nyata,
meskipun prosedur perundang-undangan belum dilaksanakan secara
lengkap.
Wahai Akhi, mudah terpengaruh dan mudah lupa merupakan karakter
yang nyata dan kodrati dari seorang wanita. Karena itu, Allah Yang
Mahabenar swt. menetapkan jaminan dalam kesaksian, "...supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya." (Al-Baqarah: 282)
Wahai Akhi, dari segi pelaksanaan, Anda menemukan bahwa Al-
Qur'anul Karim telah memerintahkan wanita untuk menahan pandangannya
dan memerintahkan pria juga melakukan hal yang sama. "Katakan
kepada kaum pria yang beriman, hendaklah mereka menahan sebagian
dari pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Demikian itu
lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian
pei'buat. Dan katakan kepada kaum wanita yang beriman, hendaklah
mereka menahan sebagian dari pandangan mereka dan menjaga kemaluan
mereka." (An-Nur: 30-31)
Jadi, Allah Yang Mahabenar swt. di samping berwasiat kepada kaum
pria yang beriman dengan wasiat ini, juga berwasiat kepada kaum wanita
yang beriman dengan wasiat yang sama. Namun, karena wanita itu
berposisi sebagai makhluk yang lemah lembut, merupakan salah satu
obyek kenikmatan lelaki, dan keindahan, maka Allah memerintahkannya
agar mengenakan hijab. "Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah
mereka mengulurkan kerudung mereka ke dada mereka dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka
atau bapak mereka, atau bapak suami mereka, atau putra-putra mereka,
atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau
putra-putra saudara mereka, atau putra-putra saudari mereka, atau
wanita-wanita beriman, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
para pembantu laki-laki yang sudah tidak memiliki keinginan terhadap
wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita."
(An-Nur: 31)
Setelah itu, Al-Qur'an mengatakan, "Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung." (An-Nur: 31)
Jadi, wahai Akhi, Islam telah memerintahkan kepada wanita untuk
menutup perhiasannya kecuali di hadapan mereka yang mempunyai
hubungan mahram, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat-ayat
yang mulia dari kitab Allah itu.
KESIMPULAN
Prinsipnya, wahai Akhi, wanita dan pria itu saling memberikan
ketenteraman, yang di balik itu terdapat hikmah dari Allah Yang
Mahabenar, yaitu untuk melahirkan anak-anaknya dan agar memakmurkan
dunia. Barangsiapa keluar dari tujuan ini, ia berarti telah melakukan
kerusakan di bumi. Jadi, harus ada perincian hubungan antara
wanita dan pria; siapakah yang diberi pembatasan, dan siapa pula yang
diberi kebebasan. Pembatasan untuk pihak yang lemah lembut dan
tidak mampu menanggung beban berat, sedangkan kebebasan diberikan
kepada pihak yang kuat dan memiliki karakter tubuh yang mendukungnya
menunaikan tugas perjuangan. Jadi, Islam tidak pernah menzhalimi,
tetapi melindungi kehormatan, kesucian, dan hak-hak wanita, seraya
merangkai ketenteraman hubungan antara wanita dan pria.
Anda, wahai Akhi, tidak akan menemukan tatanan apa pun yang
sejak semula memberikan keluasan gerak bagi wanita, kecuali dalam
syariah Islam. Anda tidak akan menemukan hal itu, sekalipun dalam
konstitusi Perancis yang bahkan tidak memberikan wewenang penuh
kepada wanita untuk mengelola hartanya sendiri.
Islam datang dengan membawa keputusan ini: "Allah berwasiat
kepada kalian tentang warisan anak-anak kalian, yaitu bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (An-
Nisa': 11)
Hal itu, wahai Akhi, lantaran ada hikmah yang dalam, yaitu bahwa
Allah swt. menjadikan wanita sebagai pihak yang disantuni dan diberi
nafkah, sedangkan laki-laki dituntut untuk memberikan nafkah. Tetapi,
karena wanita masih mempunyai hubungan kekerabatan, maka ia juga
harus memperoleh warisan, demi mewujudkan keadilan yang sempurna.
Karena itulah ia masih mendapatkan separoh bagian dari anak laki-laki.
Sebagai ringkasan dari apa yang telah saya sampaikan dalam
masalah ini, Ikhwan sekalian, saya hendak katakan bahwa Islam pada
dasarnya telah menjadikan wanita setara dengan pria dalam asal-usul,
keberadaan, dan hak-haknya secara umum. Islam mengakui adanya
hubungan timbal-balik antara wanita dengan pria. Kemudian Islam
menetapkan kewajiban-kewajiban dan aturan-aturan yang wajib
dilaksanakan oleh wanita di atas suatu asas yang menjaga kehormatan
wanita, mengiringi karakter-karakter khusus yang dianugerahkan Allah
kepada kaum wanita. Kemudian Islam mendidiknya dengan pendidikan
yang seutuhnya, dan menjadikan istri-istri Nabi sebagai teladan yang
sempurna. "Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama dengan wanita
lain, jika kalian bertaqwa. Maka janganlah kalian lembut dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya,
dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Al-Ah^ab: 32)
Kemudian, Allah juga menyertakan istri-istri kaum mukminin pada
umumnya beserta istri-istri Nabi. "Wahai Nabi, katakanlah kepada istriistrimu,
putri-putrimu, dan istri-istri kaum mukminin, hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." (Al-Ah^ab: 59)
Anda, wahai Akhi, menemukan bahwa Allah Yang Mahabenar swt.
telah menjadikan wanita sebagai perumpamaan bagi orang-orang
beriman dan orang-orang kafir. "Allah membuat istri Nuh dan istri Luth
sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di
bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hambahamba
Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya,
maka kedua suaminya tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari
(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), 'Masuklah ke neraka
bersama orang-orang yang masuk neraka.' Dan Allah membuat istri
Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata,
Wahai Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam
surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan
selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.'" (At-Tahrim: 10-11)
Setelah ini, wahai Akhi, Anda menemukan perpaduan yang indah:
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang meme-lihara kehormatannya, serta lakilaki
dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Al-
Ah^ab: 35)
Adalah kenyataan, wahai Akhi, bahwa Islam tidak pernah ber-buat
semena-mena dan zhalim. Islam dan karakter manusia serta realitas
kehidupan seiring sejalan, sebagaimana yang telah diciptakan oleh
Tuhan manusia dan kehidupan itu sendiri.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada
penghulu kita: Muhammad, segenap keluarga, dan sahabatnya.