Risalah Untuk Ukhti Muslimah - Sayid Qutb

Kisah Kehidupan dan Kematian
mpaknya kematian masih saja menghantui benakmu. Kamu membayangkan
kematian ada dimana-mana, bersembunyi dibalik setiap yang ada. Bagimu, ia
seolah-olah suatu kekuatan dahsyat yang mengancam kehidupan dan semua
yang hidup. Sehingga jika dibandingkan kematian, kamu melihat kehidupan ini sebagai
sesuatu yang kecil, namun menggelisahkan dan menakutkan.
Secara pribadi, kulihat kematian bagai kekuatan kecil dan letih disisi kekuatan
kehidupan yang meluap-luap, bergejolak, dan riuh gemuruh. Kematian nyaris tidak
berdaya untuk berbuat sesuatu, kecuali mencomot sisa-sisa yang terjatuh di meja makan
tipu daya untuk dimangsanya.
Jangkauan kehidupan yang melimpah itu, berpekik riuh dari setiap sudut
disekelilingku. Semua nampak tumbuh, mekar dan berkembang. Ibu-ibu mengandung
dan melahirkan, demikian juga hewan. Burung, ikan dan serangga melepaskan telurnya
dan kemudian telur-telur itu mentas menjemput kehidupan dan makhluk hidup lainnya.
Bumi merekah, mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, kemudian berkembang dan berbuah.
Langit mencurahkan hujan, lautan menggulung-gulungkan gelombangnya. Semua yang
ada di permukaan bumi tumbuh, dan berkembang biak.
Sesekali kematian menerkam dan merobek-robek mangsanya, lalu pergi. Atau
adakalanya ia bersembunyi mengintai makanan yang jatuh dari meja makan kehidupan
untuk dimangsanya. Sementara kehidupan berjalan terus, penuh semangat menyalanyala,
seolah-olah tidak melihat kematian itu.
Memang adakalanya kehidupan itu berteriak kesakitan, yaitu ketika kematian
menerkam dan mengoyak tubuhnya. Akan tetapi, alangkah cepat sembuhnya luka-luka
itu, dan alangkah cepatnya teriak kesakitan itu berubah menjadi teriak suka cita.
Manusia, hewan, burung, ikan, ulat, serangga, rumput dan pepohonan, semuanya
berdesakan memenuhi permukaan bumi ini dengan kehidupan dan makhluk hidup.
Sedangkan kematian bersembunyi disudut sana, menerkam mangsanya dan berlalu…
atau menantikan sisa makanan yang jatuh dari meja makan kehidupan untuk
dimangsanya.
Matahari terbit dan terbenam, bumi berputar-putar di porosnya, sementara
kehidupan mereka disana-sini. Segala sesuatu berkembang, berkembang dalam ragam dan
macamnya, berkembang dalam kualitas dan kuantitasnya. Kalau sekiranya kematian itu
mampu melakukan sesuatu, pastilah kafilah kehidupan ini akan terhenti. Ternyata ia
hanya suatu kekuatan kecil dan letih, disamping kekuatan kehidupan yang meluap-luap,
bergejolak dan riuh gemuruh.
Bersumber dari kekuatan Allah yang Maha Hidup, kehidupan itu merekah dan
menyebar…
Resep Panjang Umur
Pada waktu kita hidup untuk diri kita sendiri, nampaklah kehidupan ini seolaholah
singkat dan sangat pendek. Dimulai sejak kita sadar, dan diakhiri dengan kepergian
usia kita yang begitu pendek itu.

Namun, manakala kita hidup untuk yang selain diri kita sendiri, yakni ketika
hidup demi sebuah idealisme, maka terlihatlah kehidupan yang panjang dan terbentang
luas sekali. Dimulai sejak awal kemanusiaan, dan berlanjut terus sampai pun kita
meninggalkan permukaan bumi ini.
Sudah tentu, dalam keadaan seperti itu, kita memperoleh laba yang berlipat ganda
dari usia diri kita sendiri. Ya, kita memperolehnya sebagai laba hakiki, bukan semu. Dan
melukiskan kehidupan dengan pola demikian, akan melipatgandakan perasaan kita, harihari
kita dan waktu-waktu kita. Memanglah ukuran waktu kehidupan itu bukan dengan
bilangan tahun, akan tetapi dengan bilangan perasaan. Para penganut faham faktualisme
menganggap ungkapan itu sebagai khayal belaka, padahal kenyataannya ia lebih hakiki
dari semua yang mereka anggap hakiki. Sesungguhnyalah gambaran kehidupan itu tidak
lain kecuali perasaan manusia itu sendiri tentang kehidupan.
Menanggalkan manusia mana saja dari perasaan hidupnya sama halnya seperti
menanggalkan manusia tersebut dari kehidupannya sendiri, dalam arti yang hakiki.
Apabila manusia itu telah dapat melipatgandakan perasaannya dengan kehidupannya,
maka ia benar-benar telah berhasil melipatgandakan kehidupannya.
Nampaknya penyempitan arti kehidupan itu bagiku merupakan suatu kedzaliman,
sehingga tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Kita telah memberikan kehidupan berlipat ganda kepada diri kita, apabila kita
hidup untuk orang lain. Dan besarnya pelipatgandaan tersebut sebanding dengan kadar
perasaan kita yang kita berikan kepada yang lain itu. Kita lipatgandakan dulu perasaan
kita dengan kehidupan kita dan kemudian melipatgandakn kehidupan itu sendiri.
Bibit-Bibit Kebajikan
Bibit kejahatan bergejolak, akan tetapi bibit kebajikan berbuah. Bibit yang pertama
dengan cepat menjulang tinggi ke awan, namun akarnya tidak menghujam jauh ke dalam
bumi, karena tingginya itu, seolah-olah ia mampu menghalangi cahaya dan hembusan
udara untuk mencapai pohon kebajikan. Akan tetapi, pohon kebajikan itu terus saja
tumbuh dan berkembang, meskipun lamban, karena kedalaman akarnya menghhujam ke
bumi mampu menggantikan kehangatan cahaya dan kesejukan udara yang terhalangi
tadi.
Padahal, apabila kita mengabaikan penampilan palsu yang menggiurkan dari
pohon kejahatan, lalu meneliti seberapa jauh kekuatan dan ketangguhannya yang hakiki,
nampaklah pada kita kelemahannya, kerapuhannya dan kemudahannya untuk diporakporandakan,
karena pada dasarnya ia tidak mempunyai kekuatan yang hakiki. Sementara
itu berbagai ujian yang menerpa pohon kebajikan, membuatnya semakin tangguh,
sanggup bertahan menghadapi taufan, dan terus saja tumbuh dengan tenang walau
lamban, tidak mempedulikan berbagai rintangan buruk dan berduri yang dipasang oleh
pohon kejahatan.
Lapang Dada dan Kasih Sayang
Ketika kita menyentuh sisi-sisi yang baik dalam jiwa manusia, kta akan melihat
banyak sekali titik-titik kebajikan, meskipun pada pandangan pertama tidak mudah
terlihat.
Sudah kucoba hal demikian, aku sudah mencobanya sendiri terhadap banyak
orang, tidak terkecuali kepada mereka yang pada mulanya terlihat jahat dan miskin
perasaan.

Berikan mereka sedikit kasih sayang atas kesalahan dan kelalaiannya. Sedikit
perhatian, bukan yang dibuat-buat atau basa-basi, terhadap suka dukanya. Apabila yang
anda berikan kepada mereka tadi berasal dari lubuk hatimu, dan kamu berikan secara
jujur, tulus hati dan ikhlas, niscaya akan kamu temukan sumber kebajikan dalam lubuk
hati mereka, yakni manakala mereka memberikan cinta, kasih sayang dan kepercayaan
kepadamu, sebagai imbalan terhadap apa yang pernah kamu berikan kepada mereka
(yang walaupun kecil tetapi benar-benar tumbuh dari lubuh hatimu).
Sungguh, kejahatan itu tidak bersarang jauh dalam hati manusia, seperti yang
kadang-kadang terbang dalam benak kita. Ia terdapat dalam kulit yang keras, yang
mereka jadikan tameng dalam perjuangan gigih dalam mempertahankan hidup. Kalau
mereka sudah merasa aman, kulit keras itu akan terbuka dengan sendirinya, dan
tampaklah buah yang bersembunyi di dalamnya, yang rasanya lezat dan manis. Buah
yang manis itu hanya akan membukakan kulitnya kepada siapa yang mampu
meyakinkannya, yang bisa memberikan rasa keamanan hidup kepadanya, bisa
memberikan kasih sayang yang tulus dan ikhlas, kasih sayang yang hakiki dalam
perjuangan mereka, dalam duka cita mereka, dan juga dalam memaafkan kesalahan serta
kealpaan mereka.
Ya, sedikit kelapangan dada saja, sudah menjamin tercapai semuanya itu, lebih
dekat dari apa yang dibayangkan oleh sebagian besar orang. Aku sudah mencoba yang
demikian, mencobanya sendiri. Aku berbicara tidak sekedar berbicara, semata-mata katakata
bersayap atau hasil impian dan khayal!
Tumbuhkan Cinta agar Tentram
Apabila benih-benih cinta, kasih sayang dan kebajikan, sudah mulai bersemi dalam
diri kita, samalah dengan kita membebaskan diri dari berbagai beban dan macam-macam
penderitaan. Kita tidak perlu lagi menjilat-jilat atau merendah-rendah, karena pada saat
itu kita benar-benar melakukan suatu kejujuran dan keikhlasan, karena kita ingin
menggali perbendaharaan kebajikan yang tersimpan dalam jiwa mereka dan menemukan
ciri-ciri kebaikan yang tersembunyi dalam lubuk hati mereka. Apabila kita memuji dan
mengungkapkan mutu manikam kebajikan yang tersimpan dalam lubuk hati mereka,
dan semua itu kita lakukan dengan penuh kejujuran. Dan memanglah tidak seorang
manusia pun yang layak mendapat pujian. Akan tetapi kita tidak akan melihatnya,
kecuali apabila bibit-bibit cinta sudah bersemi dalam lubuk hati kita.
Begitu juga kita tidak perlu lagi memaksa diri menanggung duka karena ulah
mereka, dan bahkan tidak usah menanggung beban kesabaran atas kesalahan dan
kealpaan mereka. Kita bertekad akan menaburkan rasa kasih sayang pada titik-titik lemah
mereka, tanpa sedikitpun terselip niat mengusut dan menghakiminya, hanya apabila
benih-benih cinta sudah bersemi dalam jiwa kita. Dalam keadaan demikian, kita tidak
akan membebani diri kita dengan lelahnya kedengkian terhadap mereka, atau dengan
beban pengawasan kepada mereka. Sebenarnya kita dengki kepada orang lain, karena
benih-benih kebajikan tidak tumbuh dengan baik dan sempurna dalam jiwa kita, dan
kita selalu khawatir terhadap mereka, karena unsur kepercayaan dalam kebajikan masih
kurang dalam lubuk hati kita.
Betapa besar ketenangan, kesenangan dan kebahagiaan yang kita berikan kepada
diri kita, ketika kita memberikan kasih sayang, cinta dan kepercayaan kita kepada orang
lain, ketika bibit-bibit cinta, kasih sayang akan kebajikan tumbuh dengan suburnya
dalam jiwa kita.
Antara Pedagang dan Pemikir

Ketika kita memencilkan diri kita dari masyarakat karena kita merasa lebih bersih
jiwanya, lebih suci hatinya, lebih luas wawasannya, atau lebih cerdik akalnya dari mereka,
pada saat itulah kita tidak melakukan sesuatu yang berarti, karena kita telah memilij
untuk diri kita jalan pintas yang paling sedikit resikonya.
Apabila kita sampai pada tingkat kekuatan tertentu, kita sudah mulai merasa tidak
ada salahnya minta bantuan orang lain, meskipun sudah mulai merasa tidak ada salahnya
minta bantuan orang lain, meskipun orang tersebut lebih rendah kekuatannya dari kita.
Bantuan orang lain kepada kita itu sebenarnya tidak menurunkan nilai kehormatan,
kendatipun kita berusaha keras akan menciptakan segala-galanya dengan kekuatan
sendiri, dan merasa angkuh meminta bantuan orang lain. Atau justru sebaliknya, kita
memasukkan jerih payah mereka ke dalam jerih payah kita, karena kita merasa kurang
sedap apabila ada orang yang tahu, bahwa berkat bantuan itu kita bisa mencapai
kedudukan puncak.
Kita melakukan semuanya itu ketika kepercayaan kepada diri kita tidak besar,
yakni ketika kita benar-benar dalam keadaan lemah dalam berbagai segi. Namun ketika
kita dalam keadaan kuat benar, kita tidak akan merasakan hal itu semua. Perhatikanlah
anak kecil yang berjalan dengan anda, ia selalu berusaha kerasa menyingkirkan tangan
anda yang hendak melindunginya, karena ia ingin membuktikan kemampuannya
berjalan sendiri.
Ketika kita sampai pada kekuatan tertentu, kita akan sambut bantuan orang lain
itu dengan semangat terimakasih dan sukacita. Terimakasih atas bantuan yang diberikan,
dan suka cita karena masih ada orang yang seiman dengan yang kita imani. Maka ia pun
akhirnya berperan serta bersama kita dengan segala macam resiko yang mungkin. Suka
cita karena sambutan dan pertemuan perasaan itu merupakan suka-cita yang tulus dan
bebas.
Kasus lain kita berusaha “memonopoli” ide dan aqidah kita. Kita gusar apabila ada
orang lain yang menganutnya. Kita juga keras meyakinkan orang bahwa ia milik kita dan
bahwa orang itu merebutnya dari kita. Sesungguhnya tindak-tanduk semua itu kita
lakukan, pada waktu keimanan kita terhadap ide dan aqidah itu sedang rapuh, ia tidak
keluar dari hati nurani kita, seperti juga ia tidak muncul ke permukaan tanpa kemauan
kita, dan ketika ide dan aqidah itu bukan merupakah hal yang paling kita cintai lebih dari
diri kita sendiri.
Sebenarnya sukacita yang murni merupakan akibat wajar, karena kita melihat ide
dan aqidah kita menjadi milik orang lain, apalagi kalau itu terjadi ketika kita masih
hidup. Sedang suatu perhitungan saja bahwa ia akan menjadi sesudah kita meninggalkan
permukaan bumi ini, bekal anutan yang memberikan rasa kepuasan kepada orang lain,
sudah cukup meluapkan hati kita dengan suka cita, kebahagiaan dan ketenangan.
Pedagang sajalah yang berusaha keras menjalankan segalanya atas dasar “hubungan
dagang” bagi komoditas mereka supaya jangan dieksploitasi orang lain, dan supaya hak
dari laba mereka jangan jatuh ke pihak lain. Namun bagi para pemikir dan penyandang
aqidah, kebahagiaan mereka justru terletak pada saat orang banyak bisa menikmati
pikiran dan aqidahnya. Kedua hal ini diimaninya dan kemudian dinyatakan sebagai milik
mereka juga, bukan milik orang yang pertama saja.
Mereka tidak mempunyai rasa bahwa merekalah “pemilik” ide dan aqidah itu.
Mereka hany menyatakan sebagai “penghubung” dalam memindahkan dan
menterjemahkannya. Mereka merasa bahwa sumber darimana ia ditimba bukan ciptaan
mereka, dan bukan karya tangan mereka. Namun suka-cita tulus mereka, karena mereka
terlibat langsung dengan sumber aslinya.
Bedanya jauh, jauh sekali, bagaikan beda memahami hakikat dan menyadari
hakikat. Yang pertama ilmu, sedangkan yang kedua ma’rifat (pengenalan).

Dalam yang pertama, kita berurusan dengan kata-kata dan arti semata, atau dengan
percobaan yang terbatas. Sedangkan dalam yang kedua kita berurusan dengan sambutan
hidup dan kesempurnaan paripurna serta mutlak.
Dalam yang pertama, pengetahuan itu datang kepada kita dari luar diri, kemudian
ia datang dalam akal kita, tetapi terpisah dari diri dan nurani kita. Sedangkan dalam yang
kedua, hakikat itu muncul dari kedalaman batin kita. Ia mengalirkan darah yang
dialirkan oleh urat nadi dan jaringan tubuh kita, yang pancarannya beraturan bersama
dengan detakan jiwa kita.
Dalam yang pertama, terdapat ruibrik dan judul-judul. Rubrik ilmu, lengkap
dengan judul-judul artikel yang aneka rupa. Rubrik agama, dengan judul-judul, pasalpasal
dan bab-banya. Begitupula rubrik seni, dibawahnya terdapat judul-judul, metode
dan lengkap dengan arah tujuannya. Sedangkan dalam hal yang kedua, terdapat kekuatan
tunggal berhubungan dengan kekuatan alam raya ini, disana terdapat banyak anak sungai
yang mengalir, yang bersumber dari satu mata air yang murni.
Keyakinan Orang-Orang Kerdil
Kita sangat membutuhkan para ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
kemanusiaan, yang menjadikan laboratorium dan tempat kerja mereka sebagai kuil dan
biara. Mereka mengobarkan semangat penelitiannya dalam bidang ilmu yang
ditekuninya, bukan dengan rasa pengorbanan saja, tetapi juga menikmatinya. Ibarat
perasaan seorang pengabdi yang mengobarkan semangat pengabdian kepada Rabbnya
dengan penuh kepuasan dan kegembiraan.
Namun kita harus senantiasa menyadari bahwa bukan dipundak para spesialis
tersebut yang mengarahkan kita kepada kehidupan ini atau yang akan menentukan jalan
bagi ummat manusia.
Mereka, para pelopor itu adalah figur-figur yang senantiasa menjadi pemilik
kekuatan ruhani yang agung. Mereka senantiasa merupakan pembawa obor yang akan
terbakar dalam panasnya atom-atom ilmu pengetahuan, dan dengan sinarnya itulah akan
melihat jalur jalan. Mereka dibekali dengan berbagai bagian dari obor ini, dan menjadi
kuat dengan bekal itu. Tetapi perjalanan dia tidak hanya sampai disitu, ia terus saja
menggiatkan perjalanannya menuju tujuan mulia nan jauh disana.
Hanya kejelian pandangan pelopor itulah yang mampu menyadari adanya kesatuan
parpurna, dari aneka ragam penampilan seperti ilmu, aqidah, seni dan teknologi. Mereka
tidak menggali salah satu dari padanya dan tidak juga mengangkat sebagian diatas
sebagain yang lainnya.
Hanya orang-orang kerdil saja, yang berkeyakinan bahwa diantara berbagai
kekuatan yang punya aneka ragam penampilan itu terdapat pertentangan-pertentangan.
Kemudian mereka memerangi ilmu dengan nama agama, atau memerangi agama atas
nama ilmu.
Mereka mencemooh seni dengan “teknologi”, atau memerangi vitalitas hidup yang
berkobar-kobar dengan aqidah yang bersifat sufisme, karena mereka menganggap bahwa
semua kekuatan tersebut, satu sama lain saling terpisah, bukan dari satu sumber kekuatan
tunggal yaitu kekuatan raksasa yang menguasai alam raya ini. Namun tidak demikian
dengan para pelopor besar, mereka menyadari kesatuan itu, karena mereka senantiasa
berhubungan dengan sumber yang murni itu dan dari sana mereka selalu mendapatkan
alirannya.
Manusia jenis ini sedikit sekali, sedikit sekali dalam sejarah kemanusiaan… bahkan
jarang sekali. Namun jumlah tersebut dapat dikatakan cukup, karena kekuatan yang
mengawasi alam raya inilah yang menyiapkan mereka, dan mengirimkan mereka pada
waktu dan tempat yang dibutuhkan.

Mengakui yang Ghaib
Sama dengan Menghormati Akal
Menyerah mutlak kepada kekuatan ghaib adalah berbahaya sekali, karena hal ini
bisa menggiring kita kepada khurafat dan merubah kehidupan ini menjadi khayalan
besar.
Namun, memungkirinya secara mutlak, juga tidak kurang bahayanya karena ia
menutup semua pintu yang ghaib, dan memungkiri semua yang tidak bisa diindera.
Padahal ini bukan disebabkan apa-apa, kecuali karena kekuatan yang ghaib tersebut
dalam saat-saat tertentu dari kehidupan kita, jauh lebih besar dari kesadaran manusiawi.
Dan dengan sendirinya mengecilkan arti kehidupan dari alam ini –jarak, kekuatan, dan
juga nilainya, semuanya dibatasi oleh batasan-batasan yang diketahui saja, padahal hingga
detik ini apabila hal-hal yang bisa diinderakan tersebut diukur dengan kebesaran alam
raya ini- sangat kecil, sangat kecil.
Sesungguhnya kehidupan manusia di permukaan bumi ini adalah rangkaian dari
kelemahan-kelemahan dalam menyadari kekuatan alami, atau merupakan untaian
kekuatan dalam menyadari kekuatan alami, atau merupakan untaian kekuatan dalam
menyadari kekuatan alami, atau merupakan untaian kekuatan dalam menyadari kekuatan
tersebut, setiap kali ia meningkat dewasa dan maju selangkah ke depan dalam
perjalanannya yang panjang.
Sesungguhnya kekuatan manusia dari waktu ke waktu, dalam memahami salah satu
kekuatan alam yang semula tidak diketahuinya sejak ia berada diatas jangkauan
pemahamannya pada waktu tertentu, sudah cukup untuk bisa membuka mata hatinya,
bahwa disana masih terdapat banyak kekuatan lainnya yang belum bisa dijangkau oleh
pemahamannya karena ia masih dalam tahap percobaan.
Adalah suatu penghormatan terhadap akal kemanusiaan sendiri, apabila kita
menaruh terhadap yang ghaib dalam kehidupan kita, bukan untuk memasrahkan
kehidupan kita kepadanya seperti halnya orang–orang yang hanyut terbawa oleh khayal
dan khurafat, namun supaya kita senantiasa merasakan keagungan alam ini sesuai dengan
hakikatnya, dan supaya kita mengenali kedudukan diri kita dalam alam raya ini. Hal itu
tentu akan membuka kesempatan kepada semangat kemanusiaan mengungkapkan
banyak kekuatan untuk diketahui, untuk diresapi dengan berbagai jaringan yang
mengikat kita dengan alam raya itu dari kedalaman batin kita, hal mana tentu lebih besar
dan lebih dalam dari semua yang kita capai dengan akal kita hingga hari ini. Buktinya,
kita setiap hari masih saja menemukan hal-hal baru yang semula ghaib bagi kita, dan kita
hingga saat ini masih hidup.
Mengakui Keagungan Allah
Menambah Keagungan Diri
Sementara orang di zaman kita ini ada yang berpendapat, bahwa “mengakui
kagungan Allah secara mutlak berarti memicingkan mata terhadap nilai kemanusiaan,
dan merendahkan kesanggupannya dalam alam ini”, seolah-olah Allah dan manusia itu
suatu kekuatan yang sebanding yang sedang bersaing berebut keagungan dan kekuatan
dalam alam ini.
Menurut saya, apabila setiap kali perasaan kita diliputi keagungan Allah yang
mutlak, maka setiap itu pula kita menambah dalam diri kita keagungan, karena kita
ciptaan Rabb yang Maha Agung itu.

Sungguh orang yang mengira bahwa mereka telah mengangkat dirinya, ketika
mereka merendahkan Rabb dalam benak mereka, atau ketika mereka memungkiriNya,
sesungguhnya merekalah orang-orang yang terbatas, yang tidak mampu melihat kecuali
ufuq yang rendah lagi dangkal.
Mereka mengira bahwa manusia itu mendekatkan diri kepada Allah hanya pada
waktu lemah dan tidak berdaya. Sedangkan pada waktu ia kuat, ia tidak membutuhkan
Tuhan lagi. Seolah-olah kelemahan itu membuka mata hatinya, sedangkan kekuatan
menutupnya.
Selayaknya, setiap kekuatan manusia bertambah setiap itu pula pengakuan akan
keagungan Allah yang Maha Mutlak juga bertambah, karena setiap kali daya jangkaunya
bertambah setiap itu pula ia menyadari darimana sumber kekuatan itu.
Sungguh, orang yang mengimani keagungan Allah yang mutlak itu, tidak akan
menemukan dalam dirinya kerendahan dan kelemahan, bahkan kebalikan dari itu ia akan
menemukan dalam dirinya keagungan dan ketegaran karena menyandarkan kepada
kekuatan yang besar yaitu yang menguasai alam raya ini. Ia mengetahui bahwa lapangan
keagungannya hanyalah di permukaan bumi dan diantara kumpulan manusia. Hal itu
tidak akan bertumbukan dengan keagungan Allah yang mutlak dalam alam raya ini. Ia
memiliki simpanan keagungan dan kemuliaan dengan keimanannya secara mendalam,
dan tidak akan ditemukan oleh orang yang meniup dirinya seperti bakon, hingga
bengkak yang ditiupnya itu menutupi matanya melihat ufuq alam raya ini.
Ide Haruslah Hidup di Bumi
Dalam Gambaran Diri Manusia
Sering sekali peribadatan bersembunyi dalam busana ketulushatian tanpa pamrih
apapun, walau sebenarnya ia berangkat dari semu ikatan, berangkat dari tradisi, dan
berangkat dari aneka beban tanggung-jawab kemanusiaan dalam alam raya ini.
Itu namanya ketulushatian berkedok, karena yang demikian itu pada hakikatnya
merupakan ketundukan dan peribadatan seperti layaknya kecenderungan hewani, suatu
kecenderungan yang oleh ummat manusia sepanjang usianya diperangi, menuju ke alam
kebebasan manusia yang sebenarnya. Sesungguhnya prinsip atau ide dasarnya –tanpa
suatu aqidah pendorong- hanyalah rangkaian kata-kata kosong atau paling sekedar arti
yang mati. Suatu prinsip atau ide yang tumbuh dari dalam pikiran yang dingin atau dari
dalam hati yang tidak memancarkan cahaya. Dan tiada lain yang memberikan kehidupan
ini kecuali kehangatan keimanan yang memancar dari hati manusia.
Anda terlebih dahulu iman kepada ide anda itu, dengan tingkat keimanan yang
mencapai puncak aqidah yang hangat, dan pada saat itu juga orang lain akan beriman.
Kalau tidak demikian, ide tersebut hanya akan berupa kata-kata yang kosong dari ruh
dan kehidupan.
Tidak mungkin ide akan hidup tanpa menjelma dalam ruh manusia, dan menjadi
makhluk hidup yang berjalan di permukaan bumi dalam wujud manusia. Begitupula
tidak akan ada orang –dalam lapangan ini- hidup tanpa membangun hatinya dengan ide
yang diimani dengan penuh keimanan dan keikhlasan.
Sebenarnya pemisahan ide dan pribadi seperti pemisahan antara ruh dan jasad, atau
antara kata-kata dengan maknanya, suatu pekerjaan dalam beberapa waktu terbilang
mustahil, dan dalam beberapa waktu juga berarti penghalalan sekaligus pemusnahan.
Semua ini sebenarnya hidup dengan memamah hati manusia. Dan apabila ada ideide
yang tidak mencicipi makanan suci ini, ia telah dilahirkan mati dan tidak pernah
mendorong kemanusiaan ke depan walau sejengkal pun.

Tujuan Menghalalkan Cara ?
Sulit sekali rasanya aku akan membayangkan bagaimana mungkin kita akan
mencapai tujuan mulia dengan menggunakan cara hina. Sungguh tujuan yang mulia
tidak bisa hidup kecuali dalam hati yang mulia. Lalu bagaimana mungkin hati yang
mulia itu akan sanggup menggunakan cara yang hina? Dan lebih jauh dari itu bagaimana
mungkin ia menemukan cara yang hina itu?
Ketika kita akan mengarungi telaga berlumpur ketepi sana, pastilah kita akan
mencapai pantai dengan berlumuran lumpur pula. Lumpur-lumpur jalanan itu akan
meninggalkan bekas pada kaki kita, dan pada jejak keki kita. Begitu pula kalau kita
menggunakan cara hina, najis-najis itu akan menempel pada ruh kita, akan membekas
pada ruh itu dan pada tujuan yang telah kita capai juga.
Sebenarnya cara dalam ukuran ruh, merupakan bagian dari tujuan. Dalam alam
ruh, tidak ditemukan perbedaan dan pemisahan antara keduanya. Hanya perasaaan
manusiawi sajalah yang tidak akan sanggup menggunakan cara hina untuk mencapai
tujuan yang mulia. Dan dengan sendirinya pula ia akan terhindar dari teori “tujuan
menghalalkan cara”.
Teori itu merupakan hikmah terbesar bangsa Barat, karena bangsa Barat itu hidup
dengan akalnya, dan dalam keadaan demikianlah ditemukan perbedaan dan pembagian
antara cara dan tujuan.
Kepuasan Ruhani
Berkat pengalaman, akhirnya aku mengetahui bahwa tidak ada sesuatu apapun
dalam kehidupan ini yang menyamai kepuasan ruhani yang murni, yang kita temuykan
ketika kita bisa memberikan hiburan, kepuasan, kepercayaan, harapan atau kegembiraan
kepada orang lain.
Suatu kelezatan samawi yang menakjubkan, yang tidak ada hubungannya dengan
bumi ini. Suatu gema unsur samawi yang murni dalam watak kita, ia tidak menuntut
balas jasa dari luar, karena balasannya sudah ada dalam karyanya.
Ada suatu masalah lain dalam soal ini yang sering dipergunjingkan oleh sebagian
orang, padahal sebenarnya ia ada hubungannya dengan soal tersebut, yaitu pengakuan
orang pada jasa baiknya.
Aku tidak memungkiri bahwa pengakuan itu memiliki keindahan tersendiri, belum
lagi suka cita besar yang dirasakan oleh pemberinya, namun ia merupakan persoalan lain.
Masalahnya disini, masalah kepuasan, bahwa kebajikan yang dilakukan itu mendapat
respon yang jelas dan dekat dalam jiwa orang lain. Namun kepuasan hati akibat
pengakuan tersebut nilainya jelas tidak sama dengan suka cita dan rasa bahagia yang
timbul seketika pada waktu kita dapat memberikan hiburan, kepuasan, kepercayaan,
harapan atau kegembiraan kepada orang lain. Suatu keharusan yang murni dan ikhlas,
yang bersumber dari jiwa kita dan kembali kepadanya, tidak memerlukan unsur-unsur
luar diri kita. Ia telah menyandang ganjaran secukupnya, karena ganjarannya itu sudah
ada di dalamnya.
Aku Tidak Takut Mati
Karena Sudah Memberi
Aku tidak lagi takut terhadap kematian, meskipun ia datang mendadak. Aku sudah
mengambil banyak dari kehidupan ini, yakni “sudah memberi”.

Adakalanya kamu sulit membedakan antara pengambilan dan pemberian, karena
keduanya memberikan pengertian dalam satu alam ruhani. Setiap kali aku memberi,
setiap itu pula aku sudah mengambil. Ini bukan berarti ada seseorang yang memberikan
sesuatu kepadaku, tetapi maksudku, adalah bahwa aku telah mengambil imbalan atas apa
yang aku berikan, karena kepuasan dan kegembiraan yang kudapatkan dengan pemberian
itu tidak kurang dari kepuasan dan kegembiraan yang mereka dapatkan.
Aku tidak lagi takut pada kematian, meskipun ia datang seketika. Aku sudah
berbuat sekuat apa yang aku bisa lakukan. Memang masih banyak hal-hal lainnya yang
ingin aku lakukan, kalau aku diberi usia panjang, namun aku juga tidak bersedih hati
kalau akau tidak dapat melakukannya. Orang-orang lain akan meneruskan perjuangan
ini. Ia tidak akan mati, selama ia masih baik untuk hidup, dan aku percaya bahwa
pengayom yang senantiasa mengamati kelestarian alam semesta ini tidak akan
membiarkan ide yang baik itu mati.
Aku tidak lagi takut atas kematian, meskipun ia datang tiba-tiba. Aku sudah
berusaha sekuat-kuatnya berlaku baik, sedangkan terhadap kesalahan dan kealpaanku,
aku menyatakan penyesalan yang sangat mendalam.
Aku pasrahkan segalanya kepada Allah SWT, dan aku senantiasa mengharapkan
rahmat dan ampunanNya. Adapun tentang hukuman dan siksaanNya, aku tidak resah
dan gelisah karenanya. Aku yakin bahwa hukuman itu tepat dan ganjaran itu adil, dan
aku sudah membiasakan diri menanggung resiko atas amal perbuatanku, baik itu bajikan
maupun keburukan. Maka sudah barang tentu aku akan menanggung hukuman atas
kesalahanku itu di pengadilan Yahumal Hisab…